Laman

Friday, May 25, 2012

I am Your Little Angel

Hai kau gadis lugu,
Jejak kakimu menawarkan aku mengikuti langkahmu..
Hai kau gadis acuh,
Riang manjamu yg sllu sejukan dahagaku
Aku tersipu dengan tingkahmu yg lucu..
Kamu dmna bidadariku? Tinggalkan aku bagai fatamorgana..
kenapa harus kamu, yg tega menawan hatiku??
Lantas, seberapa jauh nafsuku terbuai demi cinta yg hampa?
Ya, ini memang kebodohanku, yg biarkan sayapmu mengepak dan jauhi aku
Ya, ini memang sesalku yg tak mampu lgi menafsirkan pilunya rindumu
Sebodoh itukah??

Gadis, wlaupun bgtu,
Tolong dengarkan bisikku, kumohonkan padamu..
Pintaku tak banyak, sedikitpun tidak, cukup tuk menggoreskan tinta dibaris bukuku..
Datanglah, hampirilah aku, meski hanya lewat sehilir cerita mimpi,
Lantunkanlah kabarmu melalui bait-bait doamu,..

Tak perlu berteriak, krna suaramu sangat kukenal jelas dan begitu melekat..
Tak perlu nampak, karna aku tau detak jantungku selalu seirama dengan denyut nadi hidupmu..

Jika bisa, Lekaslah tepuk pundakku, usaplah air mataku, dan kembalikanlah hasratku..
Walau ku tau, cahaya matamu memudar,
Dan cintamu semakin begitu temaram..

Apakah kamu sanggup, seperti dahulu membiarkanku bersandar bebas dilekuk pundakmu?
Ataukah mampu, seperti kala itu, setia mengusap linangan air mataku?

Kini, sekali lagi aku mengukir, apa yg seharusnya tak ku hapus..
memicuku tuk mengerti tentang sejatinya cinta nurani..
Disini, aku dan kenanganku,
Bersisa antara senyum, airmata dan luka..
Duka menjadi sirna, ketika kamu berlari, menyaksikanmu berjalan, iringi suatu klise kehidupan, yg jadikanmu pribadi sempurna, dengan canda tawa, dan guratan senyum cantik jelita.

Jaga, tuntunlah langkahnya, ya Khalik..
Jangan bawa deritaku kedalam haluan rindunya..
terangilah sedihnya, tampakkanlah ketegarannya..

Berdirilah jauh disana, berbaringlah terlelah, dan nikmatilah..buatlah iri isi dunia, langit dan cakrawala..

Tetes hujan akan selalu menyiratkan pesan, mengingatkan memori, mencuatkan lukisan yg kau serukan agar bayangku menjadi hadir, takan pernah gentar karena pelangi menemaninya..
Ingatlah, ada hari baru yg menanti, misteri tentang arti cinta sejati..cinta bersemi bersanding elegi patah hati..

Jaga lah sayapmu, jagalah sucimu..
Bebaskan sayapmu merangkul angan, dengan tetap disisi Tuhan..
Dan aku selalu bersiap, ketika saatnya nanti, sayap itu membutuhkan satu sandaran, untuk merebahkan dirinya yg terlelah, dan merindukan usapan hangat di hatinya...

Kenang aku, untuk yg terakhir, 
you'are my little angel "bee"..

Thursday, May 24, 2012

The Truly Love

Menjelang akhir Desember 2010, sudah dua bulan saya di Jogja. Saya tinggal di sebuah paviliun di Singojayan, Pakuncen. Hanya ada dua ruangan yang disewakan oleh pemilik rumah, satu yang saya tempati, satu lagi ditempati teman baik bernama Nugi. Rumah ini asri, cukup luas, dan tenang. Saya betah dan senang tinggal di sini.

Pemilik rumah ini pasangan berusia senja, Pak Bandono dan istrinya. Pak Bandono berumur 73 tahun, Bu Bandono menginjak 68 tahun. Pak Bandono pensiun 15 tahun lalu, dia mantan pejabat PLN pusat, sebelumnya pernah lama menjadi Kepala PLN di Jogja, dan keliling bertugas ke daerah-daerah lain. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan berdomisili di kota lain.

Tidak ada cukup tanda Pak Bandono mantan pejabat, mungkin karena sudah lama pensiun. Rumahnya sederhana, perabotan biasa-biasa saja. Tidak ada mobil dan motor pribadi. Pembantu hanya bekerja setengah hari lalu pulang. Kendaraan yang ada cuma sebuah sepeda Pak Bandono. Kalau ada keperluan keluar, Bu Bandono naik becak langganannya. Kalau keduanya keluar bersama, mereka naik bis umum. Tidak ada usaha atau bisnis yang dikerjakan. Tabungan juga tidak ada. Mereka hidup dari uang pensiun, dan bantuan Rp1 juta tiap bulan dari seorang anaknya.

Pasangan tua ini segar bugar, sehat walafiat. Tidak heran, karena Pak Bandono tidak pernah absen jogging usai sholat tahajud dan subuh, mengitari Monumen Pangeran Diponegoro. Sekitar jam sembilan pagi, Pak Bandono baca buku atau koran Kompas di kursi spesialnya di teras depan. Jam tiga sore dia bersepeda. Itu semua berjalan tiap hari, tidak pernah tidak, kecuali bila cuaca buruk atau sedang ada acara lain.

Sedangkan Bu Bandono rajin senam jantung sehat, dan sangat aktif mengurusi kelompok pengajian ibu-ibu. Selama dua bulan saya tinggal di sini, sudah diadakan tujuh kali pengajian di rumah ini. Belum lagi kegiatan bakti sosial yang dikoordinir oleh Bu Bandono bagi pengungsi letusan Merapi, memberi santunan panti asuhan, dan lain-lain. Saya melihat setiap hari Bu Bandono melaksanakan sholat tahajud, dhuha, dan membaca Alquran. Kedua suami istri ini punya kesibukan yang bermanfaat dan mengasyikkan.

Pak Bandono dan istrinya ramah. Mereka orang baik dan senang kalau ada teman bicara. Kapan saja diajak bicara, mereka menanggapi dengan baik dan semangat, mereka pun aktif bercerita. Kalau kebetulan berpapasan bertemu di teras, hampir pasti Pak Bandono atau istrinya akan mengajak saya berbincang, minimal sepuluh menit. Pernah juga sampai dua jam, waktu itu Bu Bandono yang mengajak bicara. Tapi baik yang sepuluh menit maupun dua jam, semua pembicaraannya baik, positif, dan berisi. Mereka ramah dan baik pada semua orang yang mereka kenal, juga pada semua orang yang berkunjung ke rumahnya.

Dan, mereka tak hanya ramah dan baik pada orang lain, melainkan juga diantara mereka berdua. Mungkin ini terdengar seperti sesuatu yang wajar, tapi sepenuhnya tidak demikian bagi saya.

Pak Bandono dan istrinya berteman dekat. Hari-hari mereka adalah hari-hari pertemanan yang hangat. Mereka seperti sepasang sahabat lama. Setiap hari saya menyaksikan keakraban mereka. Tidak pernah ada nada tinggi, perintah, celaan, panggilan keras, gerutuan, atau wajah masam di antara mereka. Semua itu, sejauh penglihatan saya dari dekat dua bulan ini, tidak pernah ada.

Pak Bandono dan istrinya selalu terlihat sedang berbincang santai, kadang sesekali membahas topik agak serius, dalam kedekatan dan kebersamaan yang nampak. Mereka makan siang dan makan malam selalu bersama di ruang belakang, saya sering mendengar perbincangan mereka, yang berjalan lama dan lancar, diselingi canda lepas. Selepas Isya, mereka duduk di teras depan rumah, melewati setengah sampai satu jam untuk leyeh-leyeh berdua.

Pak Bandono mendukung semua kegiatan istrinya. Dia selalu senang kalau pertemuan koordinasi kelompok pengajian ibu-ibu diadakan di rumahnya, dan pelaksanaannya juga. Sambil tertawa dia bilang, rumah ini sudah jadi markas ibu-ibu. Saya ikut membantu mengangkat kursi dan sofa tiap akan ada acara.

Hampir setiap hari ada teman Bu Bandono yang bertandang ke rumah. Mereka kadang bicara lama tentang kegiatan kelompok pengajiannya. Pak Bandono biasanya ada di dekat mereka sambil membaca buku, sesekali memberi masukan bila diminta oleh ibu-ibu itu.

Suatu malam Bu Bandono dan rombongan pengajian dalam satu mobil, baru kembali dari Jakarta. Rombongan turun di rumah salah satu anggotanya, sekitar 500 meter dari rumah. Pak Bandono minta bantuan teman saya, Nugi, untuk mengangkut tas besar Bu Bandono dengan motor milik Nugi. Lalu saya tanya, apakah saya perlu jemput Bu Bandono dengan motor (adik) saya, Pak Bandono menjawab tidak.

Dia memilih menjemput istrinya dengan berjalan kaki. Dia bilang, dia ingin jalan kaki saja bersama istrinya sambil ngobrol. Dan, memang kemudian saya lihat dari jauh, di ujung jalan sana mereka berdua berjalan menuju rumah, sambil berbincang. Tangan Pak Bandono di bahu istrinya. Diam-diam lama saya pandangi mereka, sampai sebelum mereka lebih dekat ke rumah. Seperti baru beberapa minggu mereka menikah.

Di hari lain, saat membereskan ruang tamu, tak sengaja Bu Bandono memecahkan meja kaca. Kaca bundar besar berbentuk lingkaran itu terbelah dua, entah bagaimana kejadiannya. Lalu pecahannya diletakkan di keranjang sampah di teras. Saya bertanya pada Pak Bandono, kenapa sampai pecah. Pak Bandono tersenyum. Dia bilang tidak tahu, tidak apa-apa pecah. Lalu Pak Bandono menuntun sepedanya ke arah jalan raya. Cara hidup mereka tenang dan damai, tanpa tensi apalagi amarah.

Waktu usai sholat Idul Adha, Bu Bandono minta tolong Nugi untuk memfoto dia berdua dengan suaminya. Sesaat setelah keduanya merasa siap dan sudah berdampingan, Bu Bandono menahan supaya jangan difoto dulu. Dia sentuh-sentuh peci Pak Bandono yang tadinya sudah berulang dia tata. Dia pandangi pakaian yang dikenakan suaminya. Lalu, sedikit dia rapikan lipatan kerah baju Pak Bandono, yang sebenarnya tidak ada yang salah.

Mereka berdua tak berkata-kata, hanya saling pandang, dan senyum keduanya begitu dewasa. Mereka difoto sekali dalam pose berdiri, dan sekali dalam posisi duduk.

Tidak ada perlakuan pengistimewaan yang vulgar dan berlebihan di antara mereka berdua. Tapi aroma romantiknya terasa. Pertemanan dan persahabatan pasangan ini begitu nyata. Mereka dekat, erat, akrab, dan hangat. Itu terjadi konsisten dan ajeg setiap hari, tak berkurang kualitasnya.

Mereka rukun, saling mengerti. Pak Bandono dan istrinya selalu ada setiap salah satu dari mereka perlu teman bicara. Belakangan saya baru tahu, nama istri Pak Bandono adalah Sri Budiani.

Bandono dan Sri yang tinggal di satu sisi Jogja, memang bukan pemuka semacam Habibie dan Ainun yang mantan Presiden dan Ibu Negara. Tapi Bandono dan Sri, mungkin adalah potret lain dari kisah sepasang kekasih yang bahagia sampai usia senja.

SURAT DARI SANG PENCIPTA

Saat kau bangun dari pagi hari,AKU memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepadaKU, walaupun sepatah kata meminta pendapatKU atau bersyukur kepadaKU atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu hari ini atau kemarin. 
Tetapi AKU melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja. AKU kembali menanti saat engkau bersiap, AKU tahu ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapaku, tetapi engkau terlalu sibuk. 

Disatu tempat, engkau duduk disebuah kursi selama lima belas menit tanpa melakukan apapun, Kemudian AKU melihatmu menggerakan kakimu., AKU berfikir engkau akan berbicara kepadaKU tetapi engkau berlari ketelepon, dan menelepon seorang teman untuk mendengarkan gosip terbaru. AKU melihat ketika engkau pergi bekerja dan AKU menanti dengan sabar sepanjang hari. Dengan semua kegiatanmu AKU berfikir engkau terlalu sibuk untuk mengucapkan sesuatu padaKU. 

Sebelum makan siang, AKU melihatmu memandang ke sekeliling meja , mungkin engkau merasa malu untuk berbicara padaKU, itulah sebabnya mengapa engkau tidak menundukkan kepalamu,. Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut namaKU dengan lembut sebelum mereka menyantap rizki yang AKU berikan, tetapi engkau tidak melakukanya. Yah, tidak apa-apa masih ada waktu tersisa dan aku berharap engkau akan berbicara padaKU, meskipun saat engkau pulang kerumah kelihatannya seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan. Setelah tugasmu selesai, engkau menyalakan TV. AKU tidak tahu apakah kau suka menonton TV atau tidak, hanya saja engkau selalu kesana dan menghabiskan banyak waktu setiap hari didepannya, tanpa memikirkan apapun dan hanya menikmati acara yang ditampilkan,. Kembali AKU menanti dengan sabar saat engkau menonton TV dan menikmati makananmu, tetapi kembali tidak berbicara kepadaKU. 

Saat tidur KU pikir kau merasa terlalu lelah. Setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu,kau melompat ketempat tidur dan tertidur tanpa sepatah katapun namaKu kau sebut. Tidak apa-apa karena mungkin kau tidak menyadari bahwa AKU selalu hadir untukmu. AKU telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari. AKU bahkan ingin mengajarkan bagaimana bersabar menghadapi orang lain.. AKU sangat menyayangimu, setiap hari AKU menantikan sepatah kata, do’a, pikiran atau ucapan syukur hatimu. 

Baiklah engkau bangun kembali dan kembali AKU menanti dengn penuh kasih bahwa hari ini kau akan memberiku sedikit waktu untuk menyapaKU. Tapi yang AKU tunggu tak jua kau menyapaku. Dari detik ke Detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, hingg hari berganti lagi,kau masih mengacuhkan AKU. Tak ada sepatah kata, tak ada seucap do’a, dan tak ada rasa, tak ada katapun dan keinginan untuk bersujud kepadaku. 
Apakah salah KU padamu? rizki yang aku limpahkan, kesehatan yang AKU berikan, harta yang AKU relakan,makanan yang AKU hidangkan, anak-anak yang aku rahmatkan, apakah hal itu tidak membuat ingat padaku? Percayalah AKU selalu mengasihimu, dan AKU tetap berharap suatu saat engkau akan menyapaku, memohon perlindunganKU, bersujud menghadapKU... 

yang selalu menyertaimu setiap saat 

“Shi Sang Chi You Mama Hau”

“Shi Sang Chi You Mama Hau” 
Cintailah Mama kita sebagai mana kita mencitai diri kita sendiri. 

Alkisah, ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Sang pria berasal dari keluarga kaya, dan merupakan orang yang terpandang di kota tersebut. Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba kekurangan, tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah yang membuat sang pria jatuh hati. 

Sang wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah, dengan membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga, orang tua sang pria tidak menyukai wanita tersebut. Sebagai orang yang terpandang di kota tersebut, latar belakang wanita tersebut akan merusak reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan jodoh yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya, bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia. 

Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita tersebut bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus berargumen dengan orang tuanya, bahkan membantah perkataan orangtuanya, sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu, umumnya seorang anak sangat tunduk pada orang tuanya). 

Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orangtuanya agar menerima calon istrinya. Sang orang tua juga stress karena gagal membujuk anak satu-satunya, agar berpisah dengan wanita tersebut, yang menurut mereka akan sangat merugikan masa depannya. 

Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun ditetapkan, tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh orang tua sang pria. Maka ketika saatnya tiba, sang orangtua mengunci anaknya di dalam kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar. 

Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah ditentukan sepasang kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang wanita sangat terkejut dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka kemudian memohon pengertian dari sang wanita, agar meninggalkan anak mereka satu-satunya. Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat besar, perkawinan mereka hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk kota, reputasi anaknya akan tercemar, orang-orang tidak akan menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis yang akan diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan. 

Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan agar wanita tersebut meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan anaknya lagi, dan menggugurkan kandungannya. Uang tersebut dapat digunakan untuk membiayai hidupnya di tempat lain. 

Sang wanita menangis tersedu-sedu. Dalam hati kecilnya, ia sadar bahwa perbedaan status sosial yang sangat jauh, akan menimbulkan banyak kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk meninggalkan kota ini, tetapi menolak untuk menerima uang tersebut. Ia mencintai sang pria, bukan uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan hidupnya ke depan akan sangat sulit?. 

Ibu sang pria kembali memohon kepada wanita tersebut untuk meninggalkan sepucuk surat kepada mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih berpisah dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan terus mencari kekasihnya, dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya. “Walaupun ia kelak bukan suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya sebagai seseorang yang berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua”, kata sang ibu. 

Dengan berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan bahwa ia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah melanggar janji setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama dalam menghadapi penolakan-penolakan akibat perbedaan status sosial mereka. Ia tidak kuat lagi menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk berpisah. 

Tetesan air mata sang wanita tampak membasahi surat tersebut. Sang wanita yang malang tersebut tampak tidak punya pilihan lain. Ia terjebak antara moral dan cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota itu, sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil. Disana, ia bertekad untuk melahirkan dan membesarkan anaknya. 

Detik .. Menit …. Jam …. Hari …. Minggu ………Tahun …… Tak terasa Tiga tahun telah berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi seorang ibu. Anaknya seorang laki-laki. Sang ibu bekerja keras siang dan malam, untuk membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari, ia bekerja di sebuah industri rumah tangga, malamnya, ia menyuci pakaian2 tetangga dan menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan semua pekerjaan ini sambil menggendong anak di punggungnya. Walaupun ia cukup berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain tidak memungkinkan, karena ia harus berada di sisi anaknya setiap saat. 

Tetapi sang ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Di usia tiga tahun, suatu saat, sang anak tiba-tiba sakit keras. Demamnya sangat tinggi. Ia segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tersebut harus menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah menguras habis seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini, dan itupun belum cukup. Ibu tersebut akhirnya juga meminjam ke sana-sini, kepada siapapun yang bermurah hati untuk memberikan pinjaman. 

Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup ramuan, untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri dari obat-obatan herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi sang ibu hanya mampu membeli obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya uang sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak mungkin, karena ia telah berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan belum terbayar. 

Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa, untuk mendapatkan daging. Toko daging di desa tersebut telah menolak permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat gajian. Diantara tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia mencari alkohol yang ada di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain. Setelah pisau dapur dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil sekerat daging dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur, ia mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan. Sang ibu tengah berjuang mengambil dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak mengeluarkan suara kesakitan yang teramat sangat?.. 

Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan rintihan kesakitan sang ibu tidak terdengar oleh para tetangga, terutama oleh anaknya sendiri. Tampaknya langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang sedang dilakukan oleh sang ibu ………… . 

Enam tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, cerdas, dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di hari minggu, mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain bersama, dan bersama-sama menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau” (terjemahannya “Di Dunia ini, hanya ibu seorang yang baik”). 

Sang anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga toko, karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari. Hari-hari mereka lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak terkadang memaksa ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam hari. Ia tahu ibunya masih menyuci di malam hari, karena perlu tambahan biaya untuk sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas. Ia juga tahu, bulan depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia berniat membelikan sebuah jam tangan, yang sangat didambakan ibunya selama ini. Ibunya pernah mencobanya di sebuah toko, tetapi segera menolak setelah pemilik toko menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak terlalu mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih banyak keperluan lain yang perlu dibiayai. 

Sang anak segera pergi ke toko tersebut, yang tidak jauh dari rumahnya. Ia meminta kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam tangan tersebut, karena ia akan membelinya bulan depan. “Apakah kamu punya uang?” tanya sang pemilik toko. “Tidak sekarang, nanti saya akan punya”, kata sang anak dengan serius. 

Ternyata, bulan depan sang anak benar-benar muncul untuk membeli jam tangan tersebut. Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya main-main. Ketika menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya “Dari mana kamu mendapatkan uang itu? Bukan mencuri kan?”. “Saya tidak mencuri, kakek. Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak pulang pergi ke sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan kaki saat pulang dari sekolah ke rumah, uang jajan dan uang becaknya saya simpan untuk beli jam ini. Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya, jangan beritahu ibuku tentang hal ini. Ia akan marah” kata sang anak. Sang pemilik toko tampak kagum pada anak tersebut. 

Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore hari. Sang anak segera memberikan ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan jam tangan tersebut. Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan anaknya. Jam tangan ini memang adalah impiannya. Tetapi sang ibu tiba-tiba tersadar, dari mana uang untuk membeli jam tersebut. Sang anak tutup mulut, tidak mau menjawab. 

“Apakah kamu mencuri, Nak?” Sang anak diam seribu bahasa, ia tidak ingin ibu mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah ditanya berklai-kali tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah mencuri. “Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu sudah mengajari kamu tentang hal ini?” kata sang ibu. 

Lalu ibu mengambil rotan dan mulai memukul anaknya. Biarpun ibu sayang pada anaknya, ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang anak menangis, sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu perih, karena ia sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus melakukannya, demi kebaikan anaknya. Suara tangisan sang anak terdengar keluar. Para tetangga menuju ke rumah tersebut heran, dan kemudian prihatin setelah mengetahui kejadiannya. “Ia sebenarnya anak yang baik”, kata salah satu tetangganya. 

Kebetulan sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah salah satu tetangganya yang merupakan familinya. Ketika ia keluar melihat ke rumah itu, ia segera mengenal anak itu. Ketika mengetahui persoalannya, ia segera menghampiri ibu itu untuk menjelaskan. Tetapi tiba-tiba sang anak berlari ke arah pemilik toko, memohon agar jangan menceritakan yang sebenarnya pada ibunya. 

“Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidak boleh menyembunyikan sesuatu dari ibunya”. Sang anak mengikuti nasehat kakek itu. Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba-tiba muncul di tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam tangan tersebut, dan sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul siang tadi di tokonya, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Ia juga menceritakan bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya pulang ke rumah dan tidak jajan di sekolah selama sebulan ini, untuk mengumpulkan uang membeli jam tangan kesukaan ibunya. 

Tampak sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal tersebut, begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak kesayangannya, keduanya menangis dengan tersedu-sedu.”Maafkan saya, Nak.” 
“Tidak Bu, saya yang bersalah” 

Sementara itu, ternyata ayah dari sang anak sudah menikah, tetapi istrinya mandul. Mereka tidak punya anak. Sang orangtua sangat sedih akan hal ini, karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak. Ketika sang ibu dan anaknya berjalan-jalan ke kota, dalam sebuah kesempatan, mereka bertemu dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru menyadari bahwa sebenarnya ia sudah punya anak dari darah dagingnya sendiri. Ia mengajak mereka berkunjung ke rumahnya, bersedia menanggung semua biaya hidup mereka, tetapi sang ibu menolak. Kami bisa hidup dengan baik tanpa bantuanmu. 

Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka begitu ingin melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan. 

Di pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter mengatakan bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang konsisten. Kalau kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya. Keuangan sang ibu sudah agak membaik, dibandingkan sebelumnya. Tetapi biaya medis tidaklah murah, ia tidak sanggup membiayainya. Sang ibu kembali berpikir keras. Tetapi ia tidak menemukan solusi yang tepat. Satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan anaknya kepada sang ayah, karena sang ayahlah yang mampu membiayai perawatannya. 

Maka di hari Minggu ini, sang ibu kembali mengajak anaknya berkeliling kota, bermain-main di taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali, menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau”, lagu kesayangan mereka. Untuk sejenak, sang ibu melupakan semua penderitaannya, ia hanyut dalam kegembiraan bersama sang anak. Sepulang ke rumah, ibu menjelaskan keadaannya pada sang anak. Sang anak menolak untuk tinggal bersama ayahnya, karena ia hanya ingin dengan ibu. “Tetapi ibu tidak mampu membiayai perawatan kamu, Nak” kata ibu. “Tidak apa-apa Bu, saya tidak perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila bisa bersama-sama dengan ibu. Bila sudah besar nanti, saya akan cari banyak uang untuk biaya perawatan saya dan untuk ibu. Nanti, ibu tidak perlu bekerja lagi, Bu”, kata sang anak. Tetapi ibu memaksa akan berkunjung ke rumah sang ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh setiap saat. 

Disana ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya. Keduanya sangat senang melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang anak meronta-ronta ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan mainan kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama ibunya, sang anak menolak. “Saya ingin Ibu, saya tidak mau mainan itu”, teriak sang anak dengan nada yang polos. Dengan hati sedih dan menangis, sang ibu berkata “Nak, kamu harus dengar nasehat ibu. Tinggallah di sini. Ayah, kakek dan nenek akan bermain bersamamu.” “Tidak, aku tidak mau mereka. Saya hanya mau ibu, saya sayang ibu, bukankah ibu juga sayang saya? Ibu sekarang tidak mau saya lagi”, sang anak mulai menangis. 

Bujukan demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah besar tersebut tidak didengarkan anak kecil tersebut. Sang anak menangis tersedu-sedu “Kalau ibu sayang padaku, bawalah saya pergi, Bu”. Sampai pada akhirnya, ibunya memaksa dengan mengatakan “Benar, ibu tidak sayang kamu lagi. Tinggallah disini”, ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah tersebut. Tampak anaknya meronta-ronta dengan ledakan tangis yang memilukan. 

Di rumah, sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu menyayat hati, ia telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan menjenguk anaknya, tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya dengan baik. Diantara isak tangisnya, ia tidak menemukan arti hidup ini lagi. Ia telah kehilangan satu-satunyanya alasan untuk hidup, anaknya tercinta. 

Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk memotong urat nadinya. Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa anaknya mungkin tidak akan diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup untuk mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh diri itu dibatalkan, demi anaknya juga………. 

Setahun berlalu. Sang ibu telah pindah ke tempat lain, mendapatkan kerja yang lebih baik lagi. Sang anak telah sehat, walaupun tetap menjalani perawatan medis secara rutin setiap bulan. Seperti biasa, sang anak ingat akan hari ulang tahun ibunya. Uang pun dapat ia peroleh dengan mudah, tanpa perlu bersusah payah mengumpulkannya. Maka, pada hari tersebut, sepulang dari sekolah, ia tidak pulang ke rumah, ia segera naik bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya, yang memakan waktu beberapa jam. Sang anak telah mempersiapkan setangkai bunga, sepucuk surat yang menyatakan ia setiap hari merindukan ibu, sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun, dan nilai ujian yang sangat bagus. Ia akan memberikan semuanya untuk ibu. 

Sang anak berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju rumahnya. Tetapi ketika sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah kosong. Tetangga mengatakan ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu kemana ibunya pergi. Sang anak tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk di depan rumah tersebut, menangis “Ibu benar-benar tidak menginginkan saya lagi.” 

Sementara itu, keluarga sang ayah begitu cemas, ketika sang anak sudah terlambat pulang ke rumah selama lebih dari 3 jam. Guru sekolah mengatakan semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah dicari, tetapi tidak ada kabar. Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya, yang juga sangat terkejut. Polisi pun dihubungi untuk melaporkan anak hilang. 

Ketika sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai melupakannya. Anaknya mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu segera naik mobil menuju rumah tersebut. Sayangnya, mereka hanya menemukan kartu ulang tahun, setangkai bunga, nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat anaknya. Sang ibu tidak mampu menahan tangisannya, saat membaca tulisan-tulisan imut anaknya dalam surat itu. 

Hari mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tersebut, tanpa mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis ia memohon agar bisa menemukan anaknya. 

Seperti mendapat petunjuk, sang ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan anaknya pernah pergi ke sebuah kuil Kuan Im di desa tersebut. Ibunya pernah berkata, bahwa bila kamu memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im yang welas asih. Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu, jika niat kamu baik. Ibunya memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke kuil tersebut untuk memohon agar bisa bertemu dengan dirinya. 

Benar saja, ternyata sang anak berada di sana. Tetapi ia pingsan, demamnya tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya untuk dilarikan ke rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh dari tangga, dan berguling-guling jatuh ke bawah………. 

Sepuluh tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah memasuki bangku kuliah. Ia sering beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan ibunya. Sejak jatuh dari tangga, ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak telah banyak menghabiskan uang untuk mencari ibunya kemana-mana, tetapi hasilnya nihil. 

Siang itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama dengan teman wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil, di persimpangan sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang mengemis. Ibu tersebut terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia tampak berkomat-kamit. Di dorong rasa ingin tahu, ia menghentikan mobilnya, dan turun bersama pacar untuk menghampiri pengemis tua itu. Ternyata sang pengemis tua sambil mengacungkan kaleng kosong untuk minta sedekah, ia berucap dengan lemah “Dimanakah anakku? Apakah kalian melihat anakku?”. Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa disadari, ia segera menyanyikan lagu “Shi Sang Ci You Mama Hau” dengan suara perlahan, tak disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara lemah. Mereka berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang selalu menyanyikan lagu tersebut saat ia kecil, sang anak segera memeluk pengemis tua itu dan berteriak dengan haru “Ibu? Ini saya ibu”. 

Sang pengemis tua itu terkejut, ia meraba-raba muka sang anak, lalu bertanya, “Apakah kamu ??..(nama anak itu)?” “Benar bu, saya adalah anak ibu?”. Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya berbaur membasahi bumi …………… . 

Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur kepalanya menjadi hilang ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun terus mencari anaknya, tanpa peduli dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang menganggapnya sebagai orang gila.

Wednesday, May 23, 2012

Isi Hati Anna Desiana :)

Kalian tau bahwa kejujuran adalah hal terpenting dalam menjalani hidup ini? Saat ini aku (Anna Desiana) 19th tengah mencoba untuk jujur mengenai kesakitanku karena di khianati, dibohongi berkali-kali oleh orang yang sama dengan kesalahan yang sama. Sejujurnya aku tidak kuat untuk menjalani semua ini seperti dulu, aku tau kini telah ada yang berbeda, ini jelas aku rasakan. Tentu saja karena kepercayaanku yang dihancurkan berkeping-keping olehnya, hingga kini pun 23'05'2012 (thursday), aku tidak tau harus memulai menyusunya dari mana kepingan kepercayaan itu pun aku sudah tidak tau dimana letaknya. Aku sadar ini pasti teguran Tuhan untuk aku, aku memang bukan wanita sempurna yang selalu sabar, mungkin aku sering banyak menyakiti hati orang lain untuk kepentinganku. Ya Tuhan....jika itu kesalahanku, maafkanlah aku.
Aku rela kehilangan dia yang sudah 32 bulan ini mengenal aku dan keluargaku cukup baik, karena sesungguhnya aku tidak sanggup dan tidak menginginkan sebuah penghianatan dalam sebuah hubungan. Aku tau hubungan kami biasa-biasa saja tidak terlalu serius, tapi rasa sakit ini Tuhan yang aku takut, aku takut karena aku selalu merasa ingin membalas semua perbuatannya padaku. Aku takut sikap-sikap, perasaan tidak baik, dan perasaan buruk menempel pada diriku.
Aku sebagai mannusia yang tak pernah tau jalan apa yang akan Kau berikan padaku, aku selalu memilih untuk mundur dari permainan ini, aku letih....berulang kali aku bicara ini hingga dia pun sering kali marah padaku, padahal aku merasa aku yang seharusnya lebih pantas marah.
Aku tidak mengerti mengapa ia harus selalu menahanku untuk mundur??? padahal dia pun mengakui sempat mengagumi perempuan lain, tidakkah ia menginginkan perempuan itu untuk bersamanya? tidakkah dia sadar, aku memang ingin dia menahanku tapi tidak setelah kejadian seperti ini? tidakkah ia berfikir apa yang aku rasakan, apa yang terjadi bila dia berada di posisiku? 
Sekarang aku mengerti Tuhan jika kejujuran itu penting dan kepercayaan adalah amanah yang tidak boleh di sia-siakan. Tuhan jauhkanlah dia dari hamba jika dia bukan jodoh hamba dan jika dia hanya mau mengubah senyumku menjadi tangisan. Akankah orang yang pernah menyakiti aku akan menjadi jodohku? sebenarnya aku bermimpi agar jodohku takkan pernah menyakiti aku begitupun aku padanya. Semoga semua ini bisa jadi pelajaran berarti bagi aku dan wanita-wanita lain diluar sana yang juga mengalaminya.

Monday, May 7, 2012

Virus Kamseupay :D

Pasti temen-temen semua udah ga asing lagi sama kata kamseupay kan? kata-kata ini di populerkan oleh salah satu sinetron di stasiun tv, saking bekennya kata kamseupay sampe-sampe di dibikin judul lagu kamseupay. Ini nih lirik lagu nya kamseupay.

Jangan dekat-dekat denganku
Karena kamu bukan level-ku
Kita beda kasta, beda segalanya

Jangan mimpi saingi aku
Kalau kamu masih punya malu
Modal dengkul aja, gak ada harganya

Gaya lo…
Tingkah lo…
Muka lo…
KAM-SE-U-PAY

*courtesy of infoterkini.web.id

Gaya lo…
Tingkah lo…
Muka lo…
KAM-SE-U-PAY

Tak sudi berteman sama rakyat jelata
Mendingan lo semua kelaut aja
Lihat ku aduhai, gaya pun keren pandai
Gak seperti lo semua yang,
KAM-SE-U-PAY

Ho… eoh eoh…
Eoh eoh…
Euwwww…..
KAM-SE-U-PAY

Jangan dekat-dekat denganku
Karena kamu bukan level-ku
Kita beda kasta, beda segalanya
Jangan mimpi saingi aku
Kalau kamu masih punya malu
Modal dengkul aja, gak ada harganya
*courtesy of infoterkini.web.id

Gaya lo…
Tingkah lo…
Muka lo…
KAM-SE-U-PAY

Gaya lo…
Tingkah lo…
Muka lo…
KAM-SE-U-PAY

Tak sudi berteman sama rakyat jelata
Mendingan lo semua kelaut aja
Lihat ku aduhai, gaya pun keren pandai
Gak seperti lo semua yang,
KAM-SE-U-PAY

Ho… eoh eoh…
Eoh eoh…
Euwwww…..
KAM-SE-U-PAY

Liriknya lagunya simpel baget tapi emang kurang baik buat anak-anak sih hehe 
Tapi asiiiiiikk kaann :D:D



lirik