Laman

Thursday, May 24, 2012

The Truly Love

Menjelang akhir Desember 2010, sudah dua bulan saya di Jogja. Saya tinggal di sebuah paviliun di Singojayan, Pakuncen. Hanya ada dua ruangan yang disewakan oleh pemilik rumah, satu yang saya tempati, satu lagi ditempati teman baik bernama Nugi. Rumah ini asri, cukup luas, dan tenang. Saya betah dan senang tinggal di sini.

Pemilik rumah ini pasangan berusia senja, Pak Bandono dan istrinya. Pak Bandono berumur 73 tahun, Bu Bandono menginjak 68 tahun. Pak Bandono pensiun 15 tahun lalu, dia mantan pejabat PLN pusat, sebelumnya pernah lama menjadi Kepala PLN di Jogja, dan keliling bertugas ke daerah-daerah lain. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan berdomisili di kota lain.

Tidak ada cukup tanda Pak Bandono mantan pejabat, mungkin karena sudah lama pensiun. Rumahnya sederhana, perabotan biasa-biasa saja. Tidak ada mobil dan motor pribadi. Pembantu hanya bekerja setengah hari lalu pulang. Kendaraan yang ada cuma sebuah sepeda Pak Bandono. Kalau ada keperluan keluar, Bu Bandono naik becak langganannya. Kalau keduanya keluar bersama, mereka naik bis umum. Tidak ada usaha atau bisnis yang dikerjakan. Tabungan juga tidak ada. Mereka hidup dari uang pensiun, dan bantuan Rp1 juta tiap bulan dari seorang anaknya.

Pasangan tua ini segar bugar, sehat walafiat. Tidak heran, karena Pak Bandono tidak pernah absen jogging usai sholat tahajud dan subuh, mengitari Monumen Pangeran Diponegoro. Sekitar jam sembilan pagi, Pak Bandono baca buku atau koran Kompas di kursi spesialnya di teras depan. Jam tiga sore dia bersepeda. Itu semua berjalan tiap hari, tidak pernah tidak, kecuali bila cuaca buruk atau sedang ada acara lain.

Sedangkan Bu Bandono rajin senam jantung sehat, dan sangat aktif mengurusi kelompok pengajian ibu-ibu. Selama dua bulan saya tinggal di sini, sudah diadakan tujuh kali pengajian di rumah ini. Belum lagi kegiatan bakti sosial yang dikoordinir oleh Bu Bandono bagi pengungsi letusan Merapi, memberi santunan panti asuhan, dan lain-lain. Saya melihat setiap hari Bu Bandono melaksanakan sholat tahajud, dhuha, dan membaca Alquran. Kedua suami istri ini punya kesibukan yang bermanfaat dan mengasyikkan.

Pak Bandono dan istrinya ramah. Mereka orang baik dan senang kalau ada teman bicara. Kapan saja diajak bicara, mereka menanggapi dengan baik dan semangat, mereka pun aktif bercerita. Kalau kebetulan berpapasan bertemu di teras, hampir pasti Pak Bandono atau istrinya akan mengajak saya berbincang, minimal sepuluh menit. Pernah juga sampai dua jam, waktu itu Bu Bandono yang mengajak bicara. Tapi baik yang sepuluh menit maupun dua jam, semua pembicaraannya baik, positif, dan berisi. Mereka ramah dan baik pada semua orang yang mereka kenal, juga pada semua orang yang berkunjung ke rumahnya.

Dan, mereka tak hanya ramah dan baik pada orang lain, melainkan juga diantara mereka berdua. Mungkin ini terdengar seperti sesuatu yang wajar, tapi sepenuhnya tidak demikian bagi saya.

Pak Bandono dan istrinya berteman dekat. Hari-hari mereka adalah hari-hari pertemanan yang hangat. Mereka seperti sepasang sahabat lama. Setiap hari saya menyaksikan keakraban mereka. Tidak pernah ada nada tinggi, perintah, celaan, panggilan keras, gerutuan, atau wajah masam di antara mereka. Semua itu, sejauh penglihatan saya dari dekat dua bulan ini, tidak pernah ada.

Pak Bandono dan istrinya selalu terlihat sedang berbincang santai, kadang sesekali membahas topik agak serius, dalam kedekatan dan kebersamaan yang nampak. Mereka makan siang dan makan malam selalu bersama di ruang belakang, saya sering mendengar perbincangan mereka, yang berjalan lama dan lancar, diselingi canda lepas. Selepas Isya, mereka duduk di teras depan rumah, melewati setengah sampai satu jam untuk leyeh-leyeh berdua.

Pak Bandono mendukung semua kegiatan istrinya. Dia selalu senang kalau pertemuan koordinasi kelompok pengajian ibu-ibu diadakan di rumahnya, dan pelaksanaannya juga. Sambil tertawa dia bilang, rumah ini sudah jadi markas ibu-ibu. Saya ikut membantu mengangkat kursi dan sofa tiap akan ada acara.

Hampir setiap hari ada teman Bu Bandono yang bertandang ke rumah. Mereka kadang bicara lama tentang kegiatan kelompok pengajiannya. Pak Bandono biasanya ada di dekat mereka sambil membaca buku, sesekali memberi masukan bila diminta oleh ibu-ibu itu.

Suatu malam Bu Bandono dan rombongan pengajian dalam satu mobil, baru kembali dari Jakarta. Rombongan turun di rumah salah satu anggotanya, sekitar 500 meter dari rumah. Pak Bandono minta bantuan teman saya, Nugi, untuk mengangkut tas besar Bu Bandono dengan motor milik Nugi. Lalu saya tanya, apakah saya perlu jemput Bu Bandono dengan motor (adik) saya, Pak Bandono menjawab tidak.

Dia memilih menjemput istrinya dengan berjalan kaki. Dia bilang, dia ingin jalan kaki saja bersama istrinya sambil ngobrol. Dan, memang kemudian saya lihat dari jauh, di ujung jalan sana mereka berdua berjalan menuju rumah, sambil berbincang. Tangan Pak Bandono di bahu istrinya. Diam-diam lama saya pandangi mereka, sampai sebelum mereka lebih dekat ke rumah. Seperti baru beberapa minggu mereka menikah.

Di hari lain, saat membereskan ruang tamu, tak sengaja Bu Bandono memecahkan meja kaca. Kaca bundar besar berbentuk lingkaran itu terbelah dua, entah bagaimana kejadiannya. Lalu pecahannya diletakkan di keranjang sampah di teras. Saya bertanya pada Pak Bandono, kenapa sampai pecah. Pak Bandono tersenyum. Dia bilang tidak tahu, tidak apa-apa pecah. Lalu Pak Bandono menuntun sepedanya ke arah jalan raya. Cara hidup mereka tenang dan damai, tanpa tensi apalagi amarah.

Waktu usai sholat Idul Adha, Bu Bandono minta tolong Nugi untuk memfoto dia berdua dengan suaminya. Sesaat setelah keduanya merasa siap dan sudah berdampingan, Bu Bandono menahan supaya jangan difoto dulu. Dia sentuh-sentuh peci Pak Bandono yang tadinya sudah berulang dia tata. Dia pandangi pakaian yang dikenakan suaminya. Lalu, sedikit dia rapikan lipatan kerah baju Pak Bandono, yang sebenarnya tidak ada yang salah.

Mereka berdua tak berkata-kata, hanya saling pandang, dan senyum keduanya begitu dewasa. Mereka difoto sekali dalam pose berdiri, dan sekali dalam posisi duduk.

Tidak ada perlakuan pengistimewaan yang vulgar dan berlebihan di antara mereka berdua. Tapi aroma romantiknya terasa. Pertemanan dan persahabatan pasangan ini begitu nyata. Mereka dekat, erat, akrab, dan hangat. Itu terjadi konsisten dan ajeg setiap hari, tak berkurang kualitasnya.

Mereka rukun, saling mengerti. Pak Bandono dan istrinya selalu ada setiap salah satu dari mereka perlu teman bicara. Belakangan saya baru tahu, nama istri Pak Bandono adalah Sri Budiani.

Bandono dan Sri yang tinggal di satu sisi Jogja, memang bukan pemuka semacam Habibie dan Ainun yang mantan Presiden dan Ibu Negara. Tapi Bandono dan Sri, mungkin adalah potret lain dari kisah sepasang kekasih yang bahagia sampai usia senja.

No comments:

Post a Comment